Akbarpost/Ganguan pernapasan suatu komplikasi yang sering kita temui pada paksa anestesi. Komplikasi bisa terjadi setelah ekstubasi seperti : karena pengeluaran sekret dari mulut yang menyumbat jalan napas, edema laring, dan bisa terjadi spasme laring. Komplikasi pernapasan paksa anestesi bisa menyebabkan hipoventilasi dan hipoksemia. Gejala komplikasi kadang-kadang datangnya tidak diduga kendatipun tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik. Keberhasilan dalam mengatasi komplikasi tergantung dari deteksi gejala dini dan tindakan koreksi untuk mencegah keadaan yang lebih buruk.
Sebelum ekstubasi dilakukan terlebih dahulu membersihkan rongga mulut efek obat pelemas otot sudah tidak ada, dan ventilasi sudah adequate. Melakukan pembersihan mulut sebaiknya dengan kateter yang steril. Walaupun diperlukan untuk membersihkan trachea atau faring dari sekret sebelum ekstubasi, hendaknya tidak dilakukan secara terus menerus bila terjadi batuk dan sianosis. Sebelum dan sesudah melakukan pengisapan, sebaiknya diberikan oksigen.
Apabila plester dilepas, balon sudah dikempiskan, lalu dilakukan ekstubasi dan selanjutnya diberikan oksigen dengan sungkup muka. Pipa endotrakheal jangan dicabut apabila sedang melakukan pengisapan karena kateter pengisap bisa menimbulkan lecet pita suara, perdarahan, atau spasme laring.
Sesudah dilakukan ektubasi, pasien hendaknya diberikan oksigen dengan sungkup muka bila perlu rongga mulut dilakukan pembersihan kembali. Sebelum dan sesudah ektubasi untuk menghindari spsme laring., ekstubasi dilakukan pada stadium anestesi yang dalam atau dimana reflek jalan sudah positif.
Napas sudah baik. Untuk mencegah spasme bronchus atau batuk, ekstubasi dapat dilakukan pada stadium anestesi yang dalam dan pernapasan sudah spontan. Spasme laring dan batuk dapat dikurangi dengan memberikan lidokain 50 – 100 mg IV (intra vena) satu menit atau dua menit sebelum ektubasi.
Kadang-kadang dalam melakukan ekstubasi terjadi kesukaran, kemungkinan kebanyakan disebabkan oleh balon pada pipa endotrakheal besar, atau sulit dikempiskan, pasien mngigit pipa endotrakheal. Ekstubasi jangan dilakukan apabila ada sianosis, hal ini disebabkan adanya gangguan pernapasan yang tidak adequate atau pernapasan susah dikontrol dengan menggunakan sungkup muka pada pembedahan penuh ekstubasi napas. Pasien dengan lambung penuh ekstubasi dilakukan apabila pasien sudah bangun atau dilakukan ekstubasi pada posisi lateral.
Pada pembedahan maxillofacial daerah jalan napas bila perlu dipertimbangkan untuk melakukan trakheostomy sebelum ekstubasi. Apabila pasien mengalami gangguan pernapasan atau pernapasan tidak adequate pipa hendaknya jangan dicabut sampai penderita sudah yakin baik, baru ke ruang pulih dengan bantuan napas terus menrus secarra mekanik sehingga adequate.
Pengisapan orotrakheal atau nasotrakheal hanya dilakukan apabila pada auskultasi terdengar adanya bunyi yang ditimbulkan oleh retensi sekret dan tidak dapat dibersihkan dengan batuk. Pengisapan trachea sebaiknya tidak dilakukan sebagai pencegahan atau secara rutin. Hal ini menyebabkan iritasi mekanisme oleh kateter selama pengisapan trachea, serta dapat pula menyebabkan trauma pernapasan, dan hal ini merupakan predisposisi untuk terjadinya infeksi.
Selain itu pengisapan trachea atau karina oleh kateter dapat menimbulkan reflek vagal, dapat berupa bradikardi dan hipotensi. Pengisapan trachea juga dapat menimbulkan hipoksemia karena aspirasi gas pada paru-paruyang menyebabkan penutupan “small air way” kolapnya dan alveoli.
Hipoksemia selama pengisapan trachea dapat dikurangi dengan cara :
1. Pemberian oksigen 100% sebelum pengisapan.
2. Diameter kateter pengisap tidak lebih dari setengah diameter trachea.
3. Lama pengisapan tidak lebih dari 15 detik.
4. Setelah melakukan pengisapan, dilakukan pemompaan secara manual untuk mengembangkan alveoli kembali.
Hipoksemia paksa bedah yang terjadi pada pasien angat sulit terdiagnosa atau dinilai secara klinik. Terutama sionosis sukar diketahui dan tidak mungkin menilai kuantitasnya.
Takhicardi sulit dipakai sebagai indicator dari hipoksia, irama pernapasan yang dalam tidaak seluruhnya dapat membantu, pernapasan yang lambat dan dangkal dapat mengakibatkan depresi pusat pernapasan oleh narkotik, dari frekuensi tidak bisa sebagai jaminan untuk mengetahui hipoksemia pada masa pembedahan pengukuran oksigen arteri dapat dipercaya untuk mengetahui keadaan dan nilai status hipoksia.
Dengan menggunakan monitor pulse oksimeter untuk mengetahui satrurasi oksigen sangat diutamakan penggunaannya terutama pada fase awal paksa bedah. Penilaian dari analisa gas darah juga diperlukan dan mungkin lebih tepat pemerriksaannya pada fase lanjut, nilai dari analisa tersebut sebagai gambaran klinik prediksi pemeriksaan dimana pulse oksimeter yang menetap. Standar analisa gas darah selama anestesi jangan dijadikan patokan pada paksa anestesi,d an pemeriksaan gas darah sebainya dilakukan di ruang pulih. Dengan penggunaan pulse oksimeter sangat mudah utnuk mengetahui hipoksemia secara dini.
Pulse oksimeter adalah alat yang digunakan untuk mengukur kejenuhan HbO2 pada pembuluh darah tepi secara elektro-fotometrii. Pengindera alat ini biasanya diletakkan pada jari atau daun telinga. Prinsip dasar kerja alat ini adalah membandingkan penyerapan cahaya yang memiliki panjang gelombang tertentu oleh HbO2 dengan Hb total (HbO2 + Hb).
Pada alat ini digunakan cahaya dengan dua panjang gelombang yang berbeda, yaitu dengan panjang gelombang dimana molekul HbO2 dan Hb mempunyai nilai penyerapan yang sama (850 nm) dan cahaya dengan panjang gelombang dimana molekul HbO2 dan Hb mempunyai nilai selisih penyerapan terbesar (660 nm) dimana perbandingan nilai penyerapan oleh dua molekul ini diketahui.
Pada pulseoksimeter peneyrapan cahaya yang dipancarkan ini disebabkan oleh dua unsure yaitu jaringan ketebalan (ketebalan dan pigmentasi) yang merupakan komponen statis darah arterial yang berdenyut merupakan komponen pisatil. Rangkaian elektronik pada alat ini dirancang utnuk mampu membedakan antara cahaya yang diserap oleh komponen statis dengan cahaya yang diserap oleh komponen pulsatil, pada kedua panjang gelombang diatas dan hanya komponen pulsatil yang ditampilkan oleh alat ini. Perbandingan komponen pulsatil pada kedua panjang gelombang cahaya diatas dibandignkan secara imperis dengan pemriksaan SaO2 yang dilakukan secara invasif sehingga nilai SaO2 pada pulse oksimeter tidak memerlukan kalibrasi.
Pulse oksimeter mempunyai keungulan karena mudah digunakan, non invasive, respon cepat mampu menilai keutuhan penyaluran oksigen mulai dari sumbernya sampai jaringan dan tidak dipengaruhi oelh pigmentasi kulit selain dari pada itu ia memiliki ketepatan yang cukup tinggi.
Kekurangannya adalah pengukuran yang tidak tepat apabila perfusi jaringan rendah, adanya cahaya luar yang ikut terukur, adanya gerakan tubuh, adanya figmen dalam darah misalnya metelin biru dan bilirubin, kadar met-Hb dan karbo Hb yang tingi : selain dari pada itu karena bentuk kurva disosiasi oksigen maka perubahan PaO2 yagn besar hanya sedikit merubah SaO2 selama PaO2 berada diatas 75 mmHg dan apabila PaO2 berada dibawah 75 mmHg perubahan PaO2 yang besar, secara kasar dapat dipegang sebagai patokan pada SaO¬2 90% - 75% maka PaO2 SaO2 – 30.
Penggunaan pulse oksimeter bermanfaat saat melaksanakan anestesi apabila terjadi perubahan saturasi selama pemulihan dan kejadian hipoksemia dapat ditegakkan secara dini, pada paska bedah sampai beberapa hari setelah pembedahan. Kriteria hipoksemia : saturasi oksigen (SpO2) 86 –90% hipoksemia ringan, SpO2 81 – 85% hipoksemia sedang, SpO2 < 81 hipoksemia berat.
Sebelum ekstubasi dilakukan terlebih dahulu membersihkan rongga mulut efek obat pelemas otot sudah tidak ada, dan ventilasi sudah adequate. Melakukan pembersihan mulut sebaiknya dengan kateter yang steril. Walaupun diperlukan untuk membersihkan trachea atau faring dari sekret sebelum ekstubasi, hendaknya tidak dilakukan secara terus menerus bila terjadi batuk dan sianosis. Sebelum dan sesudah melakukan pengisapan, sebaiknya diberikan oksigen.
Apabila plester dilepas, balon sudah dikempiskan, lalu dilakukan ekstubasi dan selanjutnya diberikan oksigen dengan sungkup muka. Pipa endotrakheal jangan dicabut apabila sedang melakukan pengisapan karena kateter pengisap bisa menimbulkan lecet pita suara, perdarahan, atau spasme laring.
Sesudah dilakukan ektubasi, pasien hendaknya diberikan oksigen dengan sungkup muka bila perlu rongga mulut dilakukan pembersihan kembali. Sebelum dan sesudah ektubasi untuk menghindari spsme laring., ekstubasi dilakukan pada stadium anestesi yang dalam atau dimana reflek jalan sudah positif.
Napas sudah baik. Untuk mencegah spasme bronchus atau batuk, ekstubasi dapat dilakukan pada stadium anestesi yang dalam dan pernapasan sudah spontan. Spasme laring dan batuk dapat dikurangi dengan memberikan lidokain 50 – 100 mg IV (intra vena) satu menit atau dua menit sebelum ektubasi.
Kadang-kadang dalam melakukan ekstubasi terjadi kesukaran, kemungkinan kebanyakan disebabkan oleh balon pada pipa endotrakheal besar, atau sulit dikempiskan, pasien mngigit pipa endotrakheal. Ekstubasi jangan dilakukan apabila ada sianosis, hal ini disebabkan adanya gangguan pernapasan yang tidak adequate atau pernapasan susah dikontrol dengan menggunakan sungkup muka pada pembedahan penuh ekstubasi napas. Pasien dengan lambung penuh ekstubasi dilakukan apabila pasien sudah bangun atau dilakukan ekstubasi pada posisi lateral.
Pada pembedahan maxillofacial daerah jalan napas bila perlu dipertimbangkan untuk melakukan trakheostomy sebelum ekstubasi. Apabila pasien mengalami gangguan pernapasan atau pernapasan tidak adequate pipa hendaknya jangan dicabut sampai penderita sudah yakin baik, baru ke ruang pulih dengan bantuan napas terus menrus secarra mekanik sehingga adequate.
Pengisapan orotrakheal atau nasotrakheal hanya dilakukan apabila pada auskultasi terdengar adanya bunyi yang ditimbulkan oleh retensi sekret dan tidak dapat dibersihkan dengan batuk. Pengisapan trachea sebaiknya tidak dilakukan sebagai pencegahan atau secara rutin. Hal ini menyebabkan iritasi mekanisme oleh kateter selama pengisapan trachea, serta dapat pula menyebabkan trauma pernapasan, dan hal ini merupakan predisposisi untuk terjadinya infeksi.
Selain itu pengisapan trachea atau karina oleh kateter dapat menimbulkan reflek vagal, dapat berupa bradikardi dan hipotensi. Pengisapan trachea juga dapat menimbulkan hipoksemia karena aspirasi gas pada paru-paruyang menyebabkan penutupan “small air way” kolapnya dan alveoli.
Hipoksemia selama pengisapan trachea dapat dikurangi dengan cara :
1. Pemberian oksigen 100% sebelum pengisapan.
2. Diameter kateter pengisap tidak lebih dari setengah diameter trachea.
3. Lama pengisapan tidak lebih dari 15 detik.
4. Setelah melakukan pengisapan, dilakukan pemompaan secara manual untuk mengembangkan alveoli kembali.
Hipoksemia paksa bedah yang terjadi pada pasien angat sulit terdiagnosa atau dinilai secara klinik. Terutama sionosis sukar diketahui dan tidak mungkin menilai kuantitasnya.
Takhicardi sulit dipakai sebagai indicator dari hipoksia, irama pernapasan yang dalam tidaak seluruhnya dapat membantu, pernapasan yang lambat dan dangkal dapat mengakibatkan depresi pusat pernapasan oleh narkotik, dari frekuensi tidak bisa sebagai jaminan untuk mengetahui hipoksemia pada masa pembedahan pengukuran oksigen arteri dapat dipercaya untuk mengetahui keadaan dan nilai status hipoksia.
Dengan menggunakan monitor pulse oksimeter untuk mengetahui satrurasi oksigen sangat diutamakan penggunaannya terutama pada fase awal paksa bedah. Penilaian dari analisa gas darah juga diperlukan dan mungkin lebih tepat pemerriksaannya pada fase lanjut, nilai dari analisa tersebut sebagai gambaran klinik prediksi pemeriksaan dimana pulse oksimeter yang menetap. Standar analisa gas darah selama anestesi jangan dijadikan patokan pada paksa anestesi,d an pemeriksaan gas darah sebainya dilakukan di ruang pulih. Dengan penggunaan pulse oksimeter sangat mudah utnuk mengetahui hipoksemia secara dini.
Pulse oksimeter adalah alat yang digunakan untuk mengukur kejenuhan HbO2 pada pembuluh darah tepi secara elektro-fotometrii. Pengindera alat ini biasanya diletakkan pada jari atau daun telinga. Prinsip dasar kerja alat ini adalah membandingkan penyerapan cahaya yang memiliki panjang gelombang tertentu oleh HbO2 dengan Hb total (HbO2 + Hb).
Pada alat ini digunakan cahaya dengan dua panjang gelombang yang berbeda, yaitu dengan panjang gelombang dimana molekul HbO2 dan Hb mempunyai nilai penyerapan yang sama (850 nm) dan cahaya dengan panjang gelombang dimana molekul HbO2 dan Hb mempunyai nilai selisih penyerapan terbesar (660 nm) dimana perbandingan nilai penyerapan oleh dua molekul ini diketahui.
Pada pulseoksimeter peneyrapan cahaya yang dipancarkan ini disebabkan oleh dua unsure yaitu jaringan ketebalan (ketebalan dan pigmentasi) yang merupakan komponen statis darah arterial yang berdenyut merupakan komponen pisatil. Rangkaian elektronik pada alat ini dirancang utnuk mampu membedakan antara cahaya yang diserap oleh komponen statis dengan cahaya yang diserap oleh komponen pulsatil, pada kedua panjang gelombang diatas dan hanya komponen pulsatil yang ditampilkan oleh alat ini. Perbandingan komponen pulsatil pada kedua panjang gelombang cahaya diatas dibandignkan secara imperis dengan pemriksaan SaO2 yang dilakukan secara invasif sehingga nilai SaO2 pada pulse oksimeter tidak memerlukan kalibrasi.
Pulse oksimeter mempunyai keungulan karena mudah digunakan, non invasive, respon cepat mampu menilai keutuhan penyaluran oksigen mulai dari sumbernya sampai jaringan dan tidak dipengaruhi oelh pigmentasi kulit selain dari pada itu ia memiliki ketepatan yang cukup tinggi.
Kekurangannya adalah pengukuran yang tidak tepat apabila perfusi jaringan rendah, adanya cahaya luar yang ikut terukur, adanya gerakan tubuh, adanya figmen dalam darah misalnya metelin biru dan bilirubin, kadar met-Hb dan karbo Hb yang tingi : selain dari pada itu karena bentuk kurva disosiasi oksigen maka perubahan PaO2 yagn besar hanya sedikit merubah SaO2 selama PaO2 berada diatas 75 mmHg dan apabila PaO2 berada dibawah 75 mmHg perubahan PaO2 yang besar, secara kasar dapat dipegang sebagai patokan pada SaO¬2 90% - 75% maka PaO2 SaO2 – 30.
Penggunaan pulse oksimeter bermanfaat saat melaksanakan anestesi apabila terjadi perubahan saturasi selama pemulihan dan kejadian hipoksemia dapat ditegakkan secara dini, pada paska bedah sampai beberapa hari setelah pembedahan. Kriteria hipoksemia : saturasi oksigen (SpO2) 86 –90% hipoksemia ringan, SpO2 81 – 85% hipoksemia sedang, SpO2 < 81 hipoksemia berat.
Posting Komentar