Kesehatan/Lupus eritematosus diskoid adalah kelainan jinak pada kulit, paling sering mengenai daerah muka, dan dicirikan dengan makula berskuama kemerahan dengan ukuran yang bervariasi. Kelainan ini menyebabkan atrofi, jaringan parut dan fotosensitivitas. Kelainan ini disebut juga lupus eritematosus kronik. Gejala klinis hampir mirip dengan Lupus Eritematosus Sistemik (LES), tapi LES bermanifestasi pada hampir semua organ internal.
Terdapat juga perubahan hematologi dan serologis pada hampir sebagian penderita, dan hal ini menyiratkan adanya etiologi autoimun. LES terkadang disebut sebagai Lupus eritematosus disseminata, tetapi terminologi ini jarang dipakai oleh para klinis LE diskoid adalah penyakit kulit kronik yang dapat menyebabkan jaringan parut, kerontokan rambut dan hiperpigmentasi kulit jika tidak ditatalaksana dengan segera. Diagnosis biasanya ditegakkan melalui gejala klinis dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi.
Lupus berasal dari bahasa Latin yang berarti serigala, karena lesinya berbentuk seperti gigitan serigala. Terminologi ini seringkali digunakan untuk lupus vulgaris pada tuberkulosis kutaneus.1 Pada tahun 1851, Cazenave pertama kali menggunakan terminologi Lupus eritemateus yang mengacu pada deskripsi lesi kulit Lupus eritematosus (LE) diskoid. Cazenave menyatakan bahwa LE lebih banyak dialami oleh pekerja lapangan dan eksaserbasinya berkaitan dengan cuaca dingin, panas, api dan udara. LED cenderung memiliki prognosis yang lebih baik daripada SLE, karena itu penting bagi para klinikus untuk mengenali LED, sebab penyakit ini menyebabkan parut terutama pada wajah.
LED menyerang umur dan jenis kelamin tertentu. Prevalensi LE diskoid pada populasi berkisar antara 17-48 per 100.000 orang. Wanita terkena dua kali lebih sering daripada laki-laki, dengan onset puncak pada dekade keempat, walaupun kelainan ini dapat terjadi pada semua umur. Sebuah penelitian menunjukkan, dari 1045 kasus, 3% dimulai sejak umur 15 tahun dan 2.5% pada umur 70 tahun.
Faktor genetik diperkirakan memiliki pengaruh terhadap patogenesis LED. Pada model matematika berdasarkan umur onset terjadinya penyakit, didapatkan sedikitnya tiga genotip yang berhubungan dengan hadirnya imunoglobulin pada dermal-epidermal junction.
Faktor Lingkungan. Terjadinya exacerbasi pada LED dipercepat oleh berbagai faktor. Lesi dipresipitasi dengan adanya trauma (11%), stres mental (12%), sinar matahari (5%), paparan terhadap cuaca dingin (2%), dan kehamilan (1%). Selain itu, adanya antibodi reovirus pada 42% penderita LED menyiratkan adanya peran virus RNA terhadap terjadinya LED.
Gejala klinis yang umum pada LE diskoid berupa plak merah mudah terkelupas yang kemudian menjadi pigmentasi pascainflamasi dan jaringan parut berwarna putih. Lesi ini dapat terlokalisasi maupun generalisata. Predileksi LE diskoid umumnya pada daerah pipi, telinga dan hidung, tetapi kadang-kadang mencapai daerah punggung, leher dan bagian dorsal dari tangan.
LE diskoid jarang terjadi pada telapak tangan atau telapak kaki. Jika folikel rambut ikut terkena, maka akan timbul daerah kebotakan yang terlokalisasi pada kepala (scarring alopecia). LE diskoid yang bermanifestasi pada bibir dan mukosa mulut menyebabkan ulkus dan pengelupasan mukosa, yang merupakan predisposisi dari karsinoma sel squamous.
Diagnosis LED ditegakkan berdasarkan gambaran klinis. Pemeriksaan histopatologi digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis; yaitu berupa reaksi jaringan lichenoid dengan perubahan pada dermo-epidermal junction disertai penebalan dasar membran dan degenerasi vakuola sel basal.
LED merupakan manifestasi paling sering pada LE. Kelainan ini umumnya ditandai dengan kemerahan, papul berskuama dan plak (gambar 3) pada area yang terpapar sinar matahari, walaupun 50% lesi lupus diskoid terjadi pada daerah kulit kepala yang jarang terekspos sinar matahari (gambar 4). Pasien dengan LED generalisata lebih cenderung menunjukkan kelainan hasil pemeriksaan lab dan lebih besar kemungkinan berkembang menjadi LE sistemik.
Lesi LE diskoid biasanya asimptomatik tetapi terlihat sebagai pruritus ringan atau nyeri tanpa terlihat adanya lesi. Biasanya terjadi pada 5% LE sistemik, kadang-kadang disertai dengan arthralgia dan arthritis.
Terdapat juga perubahan hematologi dan serologis pada hampir sebagian penderita, dan hal ini menyiratkan adanya etiologi autoimun. LES terkadang disebut sebagai Lupus eritematosus disseminata, tetapi terminologi ini jarang dipakai oleh para klinis LE diskoid adalah penyakit kulit kronik yang dapat menyebabkan jaringan parut, kerontokan rambut dan hiperpigmentasi kulit jika tidak ditatalaksana dengan segera. Diagnosis biasanya ditegakkan melalui gejala klinis dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi.
Lupus berasal dari bahasa Latin yang berarti serigala, karena lesinya berbentuk seperti gigitan serigala. Terminologi ini seringkali digunakan untuk lupus vulgaris pada tuberkulosis kutaneus.1 Pada tahun 1851, Cazenave pertama kali menggunakan terminologi Lupus eritemateus yang mengacu pada deskripsi lesi kulit Lupus eritematosus (LE) diskoid. Cazenave menyatakan bahwa LE lebih banyak dialami oleh pekerja lapangan dan eksaserbasinya berkaitan dengan cuaca dingin, panas, api dan udara. LED cenderung memiliki prognosis yang lebih baik daripada SLE, karena itu penting bagi para klinikus untuk mengenali LED, sebab penyakit ini menyebabkan parut terutama pada wajah.
LED menyerang umur dan jenis kelamin tertentu. Prevalensi LE diskoid pada populasi berkisar antara 17-48 per 100.000 orang. Wanita terkena dua kali lebih sering daripada laki-laki, dengan onset puncak pada dekade keempat, walaupun kelainan ini dapat terjadi pada semua umur. Sebuah penelitian menunjukkan, dari 1045 kasus, 3% dimulai sejak umur 15 tahun dan 2.5% pada umur 70 tahun.
Faktor genetik diperkirakan memiliki pengaruh terhadap patogenesis LED. Pada model matematika berdasarkan umur onset terjadinya penyakit, didapatkan sedikitnya tiga genotip yang berhubungan dengan hadirnya imunoglobulin pada dermal-epidermal junction.
Faktor Lingkungan. Terjadinya exacerbasi pada LED dipercepat oleh berbagai faktor. Lesi dipresipitasi dengan adanya trauma (11%), stres mental (12%), sinar matahari (5%), paparan terhadap cuaca dingin (2%), dan kehamilan (1%). Selain itu, adanya antibodi reovirus pada 42% penderita LED menyiratkan adanya peran virus RNA terhadap terjadinya LED.
Gejala klinis yang umum pada LE diskoid berupa plak merah mudah terkelupas yang kemudian menjadi pigmentasi pascainflamasi dan jaringan parut berwarna putih. Lesi ini dapat terlokalisasi maupun generalisata. Predileksi LE diskoid umumnya pada daerah pipi, telinga dan hidung, tetapi kadang-kadang mencapai daerah punggung, leher dan bagian dorsal dari tangan.
LE diskoid jarang terjadi pada telapak tangan atau telapak kaki. Jika folikel rambut ikut terkena, maka akan timbul daerah kebotakan yang terlokalisasi pada kepala (scarring alopecia). LE diskoid yang bermanifestasi pada bibir dan mukosa mulut menyebabkan ulkus dan pengelupasan mukosa, yang merupakan predisposisi dari karsinoma sel squamous.
Diagnosis LED ditegakkan berdasarkan gambaran klinis. Pemeriksaan histopatologi digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis; yaitu berupa reaksi jaringan lichenoid dengan perubahan pada dermo-epidermal junction disertai penebalan dasar membran dan degenerasi vakuola sel basal.
LED merupakan manifestasi paling sering pada LE. Kelainan ini umumnya ditandai dengan kemerahan, papul berskuama dan plak (gambar 3) pada area yang terpapar sinar matahari, walaupun 50% lesi lupus diskoid terjadi pada daerah kulit kepala yang jarang terekspos sinar matahari (gambar 4). Pasien dengan LED generalisata lebih cenderung menunjukkan kelainan hasil pemeriksaan lab dan lebih besar kemungkinan berkembang menjadi LE sistemik.
Lesi LE diskoid biasanya asimptomatik tetapi terlihat sebagai pruritus ringan atau nyeri tanpa terlihat adanya lesi. Biasanya terjadi pada 5% LE sistemik, kadang-kadang disertai dengan arthralgia dan arthritis.
Posting Komentar