Akbarpost/Aborsi merupakan masalah kesehatan masyarakat karena memberikan dampak pada kesakitan dan kematian ibu. Sebagaimana diketahui penyebab utama kematian ibu hamil dan melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklamsia. Namun sebenarnya aborsi juga merupakan penyebab kematian ibu, hanya saja muncul dalam bentuk komplikasi perdarahan dan sepsis. Akan tetapi, kematian ibu yang disebabkan komplikai aborsi sering tidak muncul dalam laporan kematian, tetapi dilaporkan sebagai perdarahan atau sepsis.
Hal ini terjadi karena hingga saat ini aborsi masih merupakan masalah kontroversial dimasyarakat. Disatu pihak aborsi dianggap ilegal dan dilarang oleh agama seehingga masyarakat cenderung menyembunyikan kejadian aborsi, dan dilain pihak aborsi terjadi dimasyarakat. Ini terbukti dari berita yang tertulis disurat kabar tentang aborsi dimasyarakat, selain dengan mudahnya didapatkan jamu dan obat-obatan peluntur serta dukun pijat untuk mereka yang terlambat datang bulan.
Tidak ada data yang pasti tentang besarnya dampak aborsi terhadap kesehatan ibu, dan WHO memperkirakan 10 – 50 % kematian ibu disebabkan oleh aborsi tergantung kondisi masing-masing negara. Diperkirakan diseluruh dunia setiap tahun dilakukan 20 juta aborsi tidak aman, 70 ribu wanita meninggal akibat aborsi tidak aman dan 1 dari 8 kematian ibu disebabkan oleh aborsi tidak aman.
Diwilayah asia tenggara, WHO memperkirakan 4,2 juta aborsi dilakukan setiap tahunnya, diantaranya 750 ribu – 1,5 juta terjadi di Indonesia. Resiko kematian akibat aborsi tidak aman diwilayah asia diperkirakan antara 1 dari 250 negara maju, hanya 1 dari 3700 angka tersebut memberikan gambaran bahwa masalah aborsi di Indonesia masih sangat besar.
Padahal Konferensi Internasional kependudukan dan Pembangunan di Kairo tahum 1994 dan Konferensi Wanita di Beijing tahun 1995 menyepakati bahwa ekses pada pelayanan aborsi yang aman merupakan hak perempuan untuk hidup, hak perempuan untuk menerima standar pelayanan kesehatan yang tertinggi dan hak untuk memanfaatkan kemajuan teknologi kesehatan dan informasi.
Dengan demikian, diperlukan perlindungan hukum dalam menyelenggarakan pelayanan aborsi yang aman untuk menjamin hak perempuan dalam menentukan fungsi reproduksi dan peran reproduksi tubuhnya sendiri. Penelitian menunjukkan bahwadilegalkannya aborsi aman disebuah negara justru berperan dalam menurunkan angka kejadian aborsii itu sendiri, mungkin salah satunya karena efektifitas konseling paska aborsi yang mewajibkan pemakaian kontrasepsi bagi mereka yang masih aktif seksual namun tidak ingin mempunyai anak untuk jangka waktu tertentu. Selain itu juga ditunjang oleh efektivitas alat kontrasepsi itu sendiri yang hampir mencapai 100% sehingga mengurangi angka kehamilan tidak diinginkan yang berakhir pada tindakan aborsi.
Held dan Adriaansz sebagaimana dikutip dari Wijono mengemukakan hasil metaanalisis tentang kelompok resiko tinggi terhadap kehamilan yang tidak direncanakan dan aborsi tidak aman berdasarkan persentasenya yaitu :
1) Kelompok unmet need dan kegagalan kontrasepsi 48%
2) Kelompok remaja 27%
3) Kelompok praktisi seks komersial
4) Kelompok korban perkosaan, incest dan perbudakan seksual 9%.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwaternyata kelompok unmet need dan gagal KB merupakan kelompok terbesar yang mengalami kehamilan tidak direncanakan sehingga konsekuen kontrasepsi merupakan salah satu syarat mutlak untuk dapat mengurangi kejadian aborsi, terutama aborsi berulang dan selain faktor lainnya.
Konseling kontrasepsi bertujuan untuk membantu klien memilih salah satu kontrasepsi yang sesuai bagi mereka dalam kaitannya dengan resiko fungsi reproduksi dan peningkatan kualitas kesehatan. Pada intinya, konseling ini akan memberikan informasi bagi klien tentang :
1) Kemungkinan menjadi hamil sebelum datangnya menstruasi berikuk.
2) Adanya berbagai metode kontrasepsi yang aman dan efektif untuk mencegah atau menunda kehamilan.
3) Aimana dan bagaimana mereka mendapatkan pelayanan dan alat kontrasepsi.
Konseling merupakan proses penting dalam pelayanan alat kontrasepsi kerena :
• Pemilihan metode kontrasepsi ditentukan setelah melalui serangkaianpemberian informasi dan memperhatikan berbagai aspek reproduktif.
• Penentuan pilihan harus mempertimbangkan aspek kesehatan dan keinginan klien.
• Pilihan metode kontrasepsi berdasarkan keamanan dan efektivitas.
• Penerimaan makin baik dengan semakin dipahaminya kerja alat tersebut.
• Kepuasan klien menjamin kesinambungan penggunaan alat kontrasepsi .
Konseling kontrasepsi sesudah aborsi merupakan syarat mutlak agar dapat mencegah kehamilan yang tidak diinginkan yang pada akhirnya mencegah aborsi. Tujuan dari konseling kontrasepsi sesudah aborsi adalah :
• Membantu pasien untuk memahami faktor –faktor yang berkaitan dengan terjadinya kehamilan yang tidak dikehendaki.
• Membantu pasien dan keluarganya untuk menentukan alat kontrasepsi
• Membantu memilihkan salah satu metode yang sesuai dengan keinginan pasien, apabila mereka membutuhkannya.
• Membatu pasien menggunakan alat kontrasepsi secara efektif.
Aborsi Dari Sudut Pandang Masyarakat
Dari masyarakat dapat diharapkan ia akan melindungi kehidupan. Masyarakat – lebih kongkret lagi negara – bertugas untuk mencipatakan keadaan yang aman dan sehat, sehingga para warganya tidak terancam akan dibunuh atau dilukai dan dapat menikmati kesehatan yang optimal. Tugas melindungi kehidupan itu mencakup juga kehidupan yang belum lahir. Dalam rangka tugas ini pulah undang-undang anti aborsi dapat dibenarkan walaupun secara historis undang-undang anti aborsi yang dikenal sekarang tidak selalu berasal dari motivasi melindungi kehidupan begitu saja, tetapi seringkali mempunyai motivasi yang luas.
Walaupun seringkali dipakai bahasa lebih halus (determinasi kehamilan, umpamanya) tidak dapat disangkal bahwa aborsi pada dasarnya adalah memusnahkan kehidupan manusiawi yang baru. Karena itu pantaslah masyarakat yang peduli dengan kehidupan, melarang tindakan aborsi menurut hukum. Tetapi melarang aborsi secara mutlak tidak memecahkan masalah, karena sebenarnya masyarakat membutuhkan aborsi. Menolak aborsi seringkali merupakan suatu sisi dari suatu situasi yang dilemaatis. Artinya, ada sisi lain juga terdapat alasan-alasan yang kuat untuk mempertimbangkan aaborsi.
Jika aborsi merupakan masalah yang begitu kompleks seperti yang kita lihat dalam analisis hingga sekarang, keputusan untuk menggugurkan kandungan menjadi sesuatu yang amat rumit. Siapa yang berhak mengambil keputusan itu ? Jawabannya tidak diragukan, tentu pada wanita hamil yang bersangkutan. Tetapi dalam mengambil keputusan itu perempuan tidak boleh bertindan sendiri, karena hal ini mempunyai banyak aspek yang perlu dipertimbangkan sehingga ia perlu didampingi. Kalau keputusan moral yang diambil oleh wanita bersangkutan maka perlu dibedakan antara keputusan moral dan kebijaksanaan umum, sebab negara yang melegalisasi aborsi tidak dengan sendirinya membenarkan aborsi secara moral untuk seterusnya.
Disatu pihak legalisasi aborsi mempunyai batas-batas dan syarat-syarat yang ketat, karena negara sedapat mungkin harus melindungi kehidupan. Dalam konteks permasalahan kita yang penting adalah bagaimana legalisasi aborsi tersebut tidak lari dari kewajiban melindungi kehidupan manusiawi. Pada taraf kehidupan individual aborsi merupakan the lesser evil dari kemungkinan yang buruk, sehingga dalam aspek apapun aborsi masih harus dipertimbangkan karena masih akan mengacu pada kerangka yang lebih umum yaitu supremasi hukum.
Aborsi Dari Sudut Pandang Agama
Ada berbagai pendapat ulama Islam mengenai masalah aborsi ini, Sebagian berpendapat bahwa aborsi yang dilakukan sebelum 120 hari hukumannya haram dan sebagian lagi berpendapat boleh. Batasan 120 hari dipakai sebagai tolak ukur boleh tidaknya aborsi dilakukan mengingat sebelum 120 hari janin belum ditiupkan rohnya yang berarti belum bernyawa. Dari ulama yang berpendapat boleh beralasan jika setelah didiagnosis oleh dokter ahli kebidanan dan kandungan ternyata apabila kehamilan diteruskan maka akan membahayakan keselamatan ibu, dan aborsi diperbolehkan.
Dengan demikian apabila dari sudut pandang agama saja aborsi diperbolehkan dengan alasan kuat seperti indikasi medis, maka suadah sepatutnyalah apabila landasan hukum aborsi diperkuat sehingga tidak ada keraguan dan kecemasan pada tenaga kesehatan yang berkompeten melakukannya.
Aborsi Dari Sudut Pandang Hukum
Menurut sumapraja dalam simposium masalah aborsi di Indonesia yang dii adakan di jakarta pada tanggal 1 April 2000 menyatakan adanya terjadsinya kontradiksi dari isi undang-undang No 23/1992 pasal 15 ayat 1 sebagai berikut.”dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu”.
Hal yang dapat dijelaskan dari isi undang-undang tersebut adalah kalimat untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya merupakan pernyataan cacat hukum karena kalimat tersebut sepertinya menjelaskan bahwa pengguguran kandungan diartikan sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janinnya. Padahal, pengguguran kandungan tidak pernah diartikan sebagai upaya untuk menyelamatkan janin, malah sebaliknya.
Penjelasan pasal 15 tiundakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan.namun dalam kaedaan darurat sebagai upya menyelamatkan ibu dan atau janin yang di kandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa dasar hukum tindakan aborsi yang cacat hukum dan tidak jelas itu menjadikan tenaga kesehatan yang memberikan pellayanan aborsi rentang dimata hukum.
Dampak Dari Aborsi
Melakukan aborsi apapun alasannya mengandung suatu persoalan yang mengancam kesehatan dan keselamatan seorang ibu. Aborsi dapat menimbulkan resiko terhadap keselamatan secara fisik dan dapat menimbulkan resiko gangguan psikologis. Menurut Reardon 1990 komplikasi fisik karena aborsi kemungkinan terjadi lebih dari seperlima. Komplikasi yang terjadi dapat berupa komplikasi minor, seperti infeksi ringan, perdarahan, demam, nyeri perut kronis, gangguan saluran pencernaan, muntah dan sensipisasi rhesus. Sedangkan komplikasi mayor dapat berupa infeksi, perdarahan kelebihan, embvolisme, robekan atau perforasi rahim, komplikasi anestesi, kejang, cedera servikal dan syok endotoksik. Tindakan melegalkan aborsi diyakini bukan merupakan solusi yang baik dalam menanggulangi meningkatnya angka kematian ibu, sebab akibat dari aborsi itu sendiri amatlah merugikan menurut sudut pandang keamanan dan keselaman bagi seorang ibu.
Berdasarkan telaah Reardon terhadap beberapa hasil penelitian ditemukan bahwa tindakan aborsi juga dapat menyebabkan laserasi dan kerusakan pada serviks (mulut rahim). Kerusakan servik karena aborsi ini dapat meningkatkan resiko keguguran, kahiran prematur, dan komplikasi persalinan pada kehamilan akhir mencapai 300-500%. Resiko reproduksi karena aborsi ini trejadi secara akut khususnya pada wanita yang melakukan aborsi pada trimester pertama.
Morbiditas laten aborsi seperti lahir prematur, komplikasi persalinan, dan perkembangan plasenta abnormal dapat mengarahkan kepada terjadinya kecacatan pada bayi baru lahir setiap tahunnya. Lebih berat lagi menurut Reardon pada wanita yang telah melakukan aborsi 58% resiko meninggal pada kehamilan terakhirnya. Selain dampak resiko secara fisik, wanita yang malakukan aborsi juga akan mengalami resiko psikologis seperti adanya konflik dalam mengambil keputusan sehingga kesulitan membuat keputusan, bersikap mendua dan ragu-ragu dalam membuat ketusan memilih aborsi, merasa ditekan atau dipaksa, merasa tidak kuasa memutuskan dan sebagainya. Oleh karena itu WHO pada tahun 1970 menyebutkan bahwa wanita yang melakukan aborsi legal cenderung akan mengalami resiko tinggi gangguan kejiwaan paska aborsi.
Hal ini terjadi karena hingga saat ini aborsi masih merupakan masalah kontroversial dimasyarakat. Disatu pihak aborsi dianggap ilegal dan dilarang oleh agama seehingga masyarakat cenderung menyembunyikan kejadian aborsi, dan dilain pihak aborsi terjadi dimasyarakat. Ini terbukti dari berita yang tertulis disurat kabar tentang aborsi dimasyarakat, selain dengan mudahnya didapatkan jamu dan obat-obatan peluntur serta dukun pijat untuk mereka yang terlambat datang bulan.
Tidak ada data yang pasti tentang besarnya dampak aborsi terhadap kesehatan ibu, dan WHO memperkirakan 10 – 50 % kematian ibu disebabkan oleh aborsi tergantung kondisi masing-masing negara. Diperkirakan diseluruh dunia setiap tahun dilakukan 20 juta aborsi tidak aman, 70 ribu wanita meninggal akibat aborsi tidak aman dan 1 dari 8 kematian ibu disebabkan oleh aborsi tidak aman.
Diwilayah asia tenggara, WHO memperkirakan 4,2 juta aborsi dilakukan setiap tahunnya, diantaranya 750 ribu – 1,5 juta terjadi di Indonesia. Resiko kematian akibat aborsi tidak aman diwilayah asia diperkirakan antara 1 dari 250 negara maju, hanya 1 dari 3700 angka tersebut memberikan gambaran bahwa masalah aborsi di Indonesia masih sangat besar.
Padahal Konferensi Internasional kependudukan dan Pembangunan di Kairo tahum 1994 dan Konferensi Wanita di Beijing tahun 1995 menyepakati bahwa ekses pada pelayanan aborsi yang aman merupakan hak perempuan untuk hidup, hak perempuan untuk menerima standar pelayanan kesehatan yang tertinggi dan hak untuk memanfaatkan kemajuan teknologi kesehatan dan informasi.
Dengan demikian, diperlukan perlindungan hukum dalam menyelenggarakan pelayanan aborsi yang aman untuk menjamin hak perempuan dalam menentukan fungsi reproduksi dan peran reproduksi tubuhnya sendiri. Penelitian menunjukkan bahwadilegalkannya aborsi aman disebuah negara justru berperan dalam menurunkan angka kejadian aborsii itu sendiri, mungkin salah satunya karena efektifitas konseling paska aborsi yang mewajibkan pemakaian kontrasepsi bagi mereka yang masih aktif seksual namun tidak ingin mempunyai anak untuk jangka waktu tertentu. Selain itu juga ditunjang oleh efektivitas alat kontrasepsi itu sendiri yang hampir mencapai 100% sehingga mengurangi angka kehamilan tidak diinginkan yang berakhir pada tindakan aborsi.
Held dan Adriaansz sebagaimana dikutip dari Wijono mengemukakan hasil metaanalisis tentang kelompok resiko tinggi terhadap kehamilan yang tidak direncanakan dan aborsi tidak aman berdasarkan persentasenya yaitu :
1) Kelompok unmet need dan kegagalan kontrasepsi 48%
2) Kelompok remaja 27%
3) Kelompok praktisi seks komersial
4) Kelompok korban perkosaan, incest dan perbudakan seksual 9%.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwaternyata kelompok unmet need dan gagal KB merupakan kelompok terbesar yang mengalami kehamilan tidak direncanakan sehingga konsekuen kontrasepsi merupakan salah satu syarat mutlak untuk dapat mengurangi kejadian aborsi, terutama aborsi berulang dan selain faktor lainnya.
Konseling kontrasepsi bertujuan untuk membantu klien memilih salah satu kontrasepsi yang sesuai bagi mereka dalam kaitannya dengan resiko fungsi reproduksi dan peningkatan kualitas kesehatan. Pada intinya, konseling ini akan memberikan informasi bagi klien tentang :
1) Kemungkinan menjadi hamil sebelum datangnya menstruasi berikuk.
2) Adanya berbagai metode kontrasepsi yang aman dan efektif untuk mencegah atau menunda kehamilan.
3) Aimana dan bagaimana mereka mendapatkan pelayanan dan alat kontrasepsi.
Konseling merupakan proses penting dalam pelayanan alat kontrasepsi kerena :
• Pemilihan metode kontrasepsi ditentukan setelah melalui serangkaianpemberian informasi dan memperhatikan berbagai aspek reproduktif.
• Penentuan pilihan harus mempertimbangkan aspek kesehatan dan keinginan klien.
• Pilihan metode kontrasepsi berdasarkan keamanan dan efektivitas.
• Penerimaan makin baik dengan semakin dipahaminya kerja alat tersebut.
• Kepuasan klien menjamin kesinambungan penggunaan alat kontrasepsi .
Konseling kontrasepsi sesudah aborsi merupakan syarat mutlak agar dapat mencegah kehamilan yang tidak diinginkan yang pada akhirnya mencegah aborsi. Tujuan dari konseling kontrasepsi sesudah aborsi adalah :
• Membantu pasien untuk memahami faktor –faktor yang berkaitan dengan terjadinya kehamilan yang tidak dikehendaki.
• Membantu pasien dan keluarganya untuk menentukan alat kontrasepsi
• Membantu memilihkan salah satu metode yang sesuai dengan keinginan pasien, apabila mereka membutuhkannya.
• Membatu pasien menggunakan alat kontrasepsi secara efektif.
Aborsi Dari Sudut Pandang Masyarakat
Dari masyarakat dapat diharapkan ia akan melindungi kehidupan. Masyarakat – lebih kongkret lagi negara – bertugas untuk mencipatakan keadaan yang aman dan sehat, sehingga para warganya tidak terancam akan dibunuh atau dilukai dan dapat menikmati kesehatan yang optimal. Tugas melindungi kehidupan itu mencakup juga kehidupan yang belum lahir. Dalam rangka tugas ini pulah undang-undang anti aborsi dapat dibenarkan walaupun secara historis undang-undang anti aborsi yang dikenal sekarang tidak selalu berasal dari motivasi melindungi kehidupan begitu saja, tetapi seringkali mempunyai motivasi yang luas.
Walaupun seringkali dipakai bahasa lebih halus (determinasi kehamilan, umpamanya) tidak dapat disangkal bahwa aborsi pada dasarnya adalah memusnahkan kehidupan manusiawi yang baru. Karena itu pantaslah masyarakat yang peduli dengan kehidupan, melarang tindakan aborsi menurut hukum. Tetapi melarang aborsi secara mutlak tidak memecahkan masalah, karena sebenarnya masyarakat membutuhkan aborsi. Menolak aborsi seringkali merupakan suatu sisi dari suatu situasi yang dilemaatis. Artinya, ada sisi lain juga terdapat alasan-alasan yang kuat untuk mempertimbangkan aaborsi.
Jika aborsi merupakan masalah yang begitu kompleks seperti yang kita lihat dalam analisis hingga sekarang, keputusan untuk menggugurkan kandungan menjadi sesuatu yang amat rumit. Siapa yang berhak mengambil keputusan itu ? Jawabannya tidak diragukan, tentu pada wanita hamil yang bersangkutan. Tetapi dalam mengambil keputusan itu perempuan tidak boleh bertindan sendiri, karena hal ini mempunyai banyak aspek yang perlu dipertimbangkan sehingga ia perlu didampingi. Kalau keputusan moral yang diambil oleh wanita bersangkutan maka perlu dibedakan antara keputusan moral dan kebijaksanaan umum, sebab negara yang melegalisasi aborsi tidak dengan sendirinya membenarkan aborsi secara moral untuk seterusnya.
Disatu pihak legalisasi aborsi mempunyai batas-batas dan syarat-syarat yang ketat, karena negara sedapat mungkin harus melindungi kehidupan. Dalam konteks permasalahan kita yang penting adalah bagaimana legalisasi aborsi tersebut tidak lari dari kewajiban melindungi kehidupan manusiawi. Pada taraf kehidupan individual aborsi merupakan the lesser evil dari kemungkinan yang buruk, sehingga dalam aspek apapun aborsi masih harus dipertimbangkan karena masih akan mengacu pada kerangka yang lebih umum yaitu supremasi hukum.
Aborsi Dari Sudut Pandang Agama
Ada berbagai pendapat ulama Islam mengenai masalah aborsi ini, Sebagian berpendapat bahwa aborsi yang dilakukan sebelum 120 hari hukumannya haram dan sebagian lagi berpendapat boleh. Batasan 120 hari dipakai sebagai tolak ukur boleh tidaknya aborsi dilakukan mengingat sebelum 120 hari janin belum ditiupkan rohnya yang berarti belum bernyawa. Dari ulama yang berpendapat boleh beralasan jika setelah didiagnosis oleh dokter ahli kebidanan dan kandungan ternyata apabila kehamilan diteruskan maka akan membahayakan keselamatan ibu, dan aborsi diperbolehkan.
Dengan demikian apabila dari sudut pandang agama saja aborsi diperbolehkan dengan alasan kuat seperti indikasi medis, maka suadah sepatutnyalah apabila landasan hukum aborsi diperkuat sehingga tidak ada keraguan dan kecemasan pada tenaga kesehatan yang berkompeten melakukannya.
Aborsi Dari Sudut Pandang Hukum
Menurut sumapraja dalam simposium masalah aborsi di Indonesia yang dii adakan di jakarta pada tanggal 1 April 2000 menyatakan adanya terjadsinya kontradiksi dari isi undang-undang No 23/1992 pasal 15 ayat 1 sebagai berikut.”dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu”.
Hal yang dapat dijelaskan dari isi undang-undang tersebut adalah kalimat untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya merupakan pernyataan cacat hukum karena kalimat tersebut sepertinya menjelaskan bahwa pengguguran kandungan diartikan sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janinnya. Padahal, pengguguran kandungan tidak pernah diartikan sebagai upaya untuk menyelamatkan janin, malah sebaliknya.
Penjelasan pasal 15 tiundakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan.namun dalam kaedaan darurat sebagai upya menyelamatkan ibu dan atau janin yang di kandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa dasar hukum tindakan aborsi yang cacat hukum dan tidak jelas itu menjadikan tenaga kesehatan yang memberikan pellayanan aborsi rentang dimata hukum.
Dampak Dari Aborsi
Melakukan aborsi apapun alasannya mengandung suatu persoalan yang mengancam kesehatan dan keselamatan seorang ibu. Aborsi dapat menimbulkan resiko terhadap keselamatan secara fisik dan dapat menimbulkan resiko gangguan psikologis. Menurut Reardon 1990 komplikasi fisik karena aborsi kemungkinan terjadi lebih dari seperlima. Komplikasi yang terjadi dapat berupa komplikasi minor, seperti infeksi ringan, perdarahan, demam, nyeri perut kronis, gangguan saluran pencernaan, muntah dan sensipisasi rhesus. Sedangkan komplikasi mayor dapat berupa infeksi, perdarahan kelebihan, embvolisme, robekan atau perforasi rahim, komplikasi anestesi, kejang, cedera servikal dan syok endotoksik. Tindakan melegalkan aborsi diyakini bukan merupakan solusi yang baik dalam menanggulangi meningkatnya angka kematian ibu, sebab akibat dari aborsi itu sendiri amatlah merugikan menurut sudut pandang keamanan dan keselaman bagi seorang ibu.
Berdasarkan telaah Reardon terhadap beberapa hasil penelitian ditemukan bahwa tindakan aborsi juga dapat menyebabkan laserasi dan kerusakan pada serviks (mulut rahim). Kerusakan servik karena aborsi ini dapat meningkatkan resiko keguguran, kahiran prematur, dan komplikasi persalinan pada kehamilan akhir mencapai 300-500%. Resiko reproduksi karena aborsi ini trejadi secara akut khususnya pada wanita yang melakukan aborsi pada trimester pertama.
Morbiditas laten aborsi seperti lahir prematur, komplikasi persalinan, dan perkembangan plasenta abnormal dapat mengarahkan kepada terjadinya kecacatan pada bayi baru lahir setiap tahunnya. Lebih berat lagi menurut Reardon pada wanita yang telah melakukan aborsi 58% resiko meninggal pada kehamilan terakhirnya. Selain dampak resiko secara fisik, wanita yang malakukan aborsi juga akan mengalami resiko psikologis seperti adanya konflik dalam mengambil keputusan sehingga kesulitan membuat keputusan, bersikap mendua dan ragu-ragu dalam membuat ketusan memilih aborsi, merasa ditekan atau dipaksa, merasa tidak kuasa memutuskan dan sebagainya. Oleh karena itu WHO pada tahun 1970 menyebutkan bahwa wanita yang melakukan aborsi legal cenderung akan mengalami resiko tinggi gangguan kejiwaan paska aborsi.
Posting Komentar